Kasih Ibu bagi si Anak Cipoh Kacat

cipoh kacatWaktu menunjukkan pertengahan bulan Mei.  Burung Cipoh Kacat (Aegithina tiphia) itu kelihatan belumlah dewasa, bentuk tubuhnya bulat kecil.  Bahkan ekornya pun belum muncul dari belakang tubuhnya.  Dari gerak geriknya kemungkinan dia baru saja mulai belajar terbang hari ini, karena sudah sekitar setengah jam Cipoh Kacat kecil itu diam tak bergerak dengan tungkai yang agak terlipat dan jari jemari yang mencengkram erat cabang kecil pohon Petai di belakang sebuah rumah di desa di daerah Banyumas, seakan-akan dia takut ketinggian atau berjaga agar tidak jatuh ke bawah.  Lucu dan menggemaskan sekali anak burung berwarna kuning itu, ditambah lagi sesekali dia berteriak lembut ngeek ngeek! Memanggil induknya agar datang mendekat.

Mendengar panggilan anaknya, segera saja salah satu induk Cipoh Kacat yang sudah membawa makanan berupa ulat kecil di paruhnya terbang mendekat dan bertengger tepat disebelah si anak.  Ulatpun berpindah ke paruh anaknya dan langsung ditelan, creek! creek! keras si induk berteriak seakan-akan berkata: makanlah semua nak!  Sementara di pohon lainnya di dekat pohon petai tersebut, induk satunya masih sibuk mencari dan belum mendapatkan serangga atau ulat kecil untuk makan anaknya.  Semangat sekali induk Cipoh Kacat itu berlompatan cepat dari ranting ke ranting sampai ke ranting pohon yang paling ujung.  Semuanya dilakukan si induk dengan ikhlas demi anak tercintanya, buktinya dia bekerja sambil bernyanyian ribut dan merdu: creek, creek, ci juww! Ci juww! Ciiuuuww!..  Yah, memang keluarga kecil burung Cipoh Kacat tersebut adalah keluarga kecil yang bahagia.  Sungguh menyedihkan dan memprihatinkan jika kita, manusia, merenggut kebahagiaan keluarga kecil Cipoh Kacat itu dengan menangkap salah satu diantara mereka dan mengurungnya di sangkar!

Cipoh Kacat di Banyumas lebih dikenal di kalangan pemelihara burung dengan nama sirdung.  Salah satu burung favorit peliharaan.  Berukuran sekitar 14 cm.  Berwarna hijau pada tubuh bagian atas dan kuning di tubuh bagian bawahnya, sayap hijau kehitaman dengan warna putih di sisinya.  Biasanya burung ini tercatat berkeliaran sendirian, atau berpasangan, berlompatan cepat dari cabang ke cabang sambil bernyanyi merdu.  Di pedesaan sekitar Banyumas burung ini masih cukup banyak ditemui walaupun semakin banyak pula yang diburu untuk dipelihara di dalam sangkar.  Banyak orang berkata bahwa memelihara burung adalah salah satu adatnya lelaki Jawa (klangenan).   Padahal dengan suara merdunya, justru sudah seharusnya kita manusia melestarikannya di alam.  Seperti petikan bait salah satu lagu Jawa berikut ini:

Srengenge nyuunar, mulono pernaaheeee

Manuke ngooceeeh, ono wit-witaaaan

Pating ceruuuwiit, seneng atineeee

Katon asriii, dunyo sak isineeee

Arti bahasa Indonesianya: Matahari bersinar cerah di pagi hari.  Burung bernyanyi di pepohonan. Bernyanyi ramai tanda senang hati. Betapa terlihat asri dunia seisinya.  Nah bagaimana? Potongan bait lagu berjudul ‘Jago Kluruk’ ini ternyata menunjukkan bahwa ada juga adat Jawa yang senang dengan kelestarian burung di alam, dan lebih menyukai jika burung bebas bernyanyi di alam, sehingga dunia ini tampak lebih asri.  (by Timur)

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published.