Aksi belasan warga Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas pada Minggu (22/11/2015) yang lalu patut diacungi jempol. Pasalnya, mereka berhasil menggagalkan transaksi seekor elang ular bido (Spilornis cheela bido) yang dilindungi Undang-Undang No. 5/ 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Margino, salah satu warga yang menggagalkan transaksi itu, menuturkan bahwa pedagang satwa dilindungi itu berinisial A, warga Desa Kalikesur Kabupaten Banyumas. Sebelumnya, dia melakukan transaksi melalui telepon dengan S, seorang mantan Kepala Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Mereka sedianya bertemu di Desa Melung, sebuah desa di lereng selatan Gunung Slamet, untuk serah terima elang dan melakukan pembayaran. Margino sendiri tidak mengetahui berapa nilai rupiah yang disepakati mereka.
“Kami memergoki mereka sedang melakukan jual beli. Karena elang adalah satwa dilindungi negara, maka kami segera memaksa mereka untuk tidak melanjutkan transaksi,” jelas Margino kepada Mongabay.
Penjual dan pembeli satwa dilindungi kepergok warga saat akan bertansaksi di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas pada Minggu (22/11/2015). Foto : Narwin/Biodiversity Society
Upaya menggagalkan transaksi itu sendiri bukan hal yang mudah. Mereka harus berdiskusi panjang lebar menjelaskan tentang jenis-jenis satwa yang dilindungi negara sekaligus juga ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta. Namun A tetap ngotot bahkan sempat mengambil balok kayu untuk menghajar beberapa warga.
Melihat perilaku A yang semakin emosional, belasan warga yang kebetulan kerja bakti di dekat lokasi tersebut kemudian mengerubung pelaku. Mereka mengancam jika tidak menyerahkan elang tersebut kepada warga, akan menangkap dan membawa ke kantor polisi.
“Penjelasan kami soal Undang-Undang tidak masuk dalam pikiran dia. Dia bahkan tidak takut ancaman pidana. Dengan terpaksa kami mengintimidasi dia. Akhirnya elang tersebut diserahkan kepada kami dan mereka pulang dengan tangan hampa,” lanjutnya.
Karena kondisi elang tersebut masih sangat liar, warga kemudian melepaskan langsung di dekat hutan. Meski awalnya nampak susah terbang, namun beberapa menit kemudian elang tersebut sudah nampak melakukan soaring (terbang berputar-putar dengan memanfaatkan geothermal-red). Masyarakat sendiri meyakini bahwa elang tersebut akan mampu hidup dengan aman di wilayah hutan Desa Melung.
Warga Pinggir Hutan Namun Melek Konservasi
Kejadian seperti ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya terjadi di Desa Melung. Seringkali warga mengusir para penghobi senapan angin yang sengaja datang untuk menembak di Desa Melung. Meski hampir pasti terjadi keributan, warga merasa benar karena sudah bertindak sesuai peraturan perundangan yang ada.
Warga sendiri berkeyakinan jika mereka menjaga dan melindungi alam, maka alam akan membalas dengan berkah melimpah bagi kehidupan mereka. Bahkan Pemerintah Desa Melung telah menjadikan Desa Melung sebagai laboratorium alam sebagai visi mereka. Hal ini dibenarkan oleh Khoerudin, Kepala Desa Melung.
“Pemerintah Desa sangat mendukung perlindungan sumber daya alam yang ada, baik hayati maupun non hayati. Kami bahkan ingin agar desa kami dapat menjadi laboratorium alam yang dapat diteliti oleh berbagai pihak, untuk mensejahterakan masyarakat,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Apris Nur Rakhmadani dari Biodiversity Society, kelompok pemerhati konservasi keragaman hayati di Banyumas. Menurutnya, warga Desa Melung sangat antusias untuk melindungi keragaman hayati yang ada di pangkuan desanya, baik kawasan hutan maupun kawasan pertanian dan perumahan.
Apalagi, kawasan hutan pangkuan Desa Melung menjadi rumah bagi beberapa spesies terancam punah yang menjadi prioritas nasional untuk ditingkatkan populasinya di alam. Spesies itu antara lain elang jawa (Nisaetus bartelsi), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul jawa (Panthera pardus melas) dan rekrekan (Presbytis fredericae). Selama 5 tahun terakhir, populasi satwaliar di Melung dipantau bersama-sama masyarakat.
“Kami melakukan monitoring bersama masyarakat. Tujuannya agar suatu saat masyarakat pinggir hutan dapat menjadi garda terdepan dalam melindungi keragaman hayati kita. Tanpa keterlibatan aktif mereka, berapapun biaya yang dikeluarkan akan sia-sia,” kata Apris.
Lebih lanjut, Apris juga mengacungi jempol aksi masyarakat Desa Melung yang berhasil menggagalkan transaksi jual beli elang tersebut. Menurutnya, para pelaku sama sekali tidak mau tahu soal perundangan yang berlaku. Bagi mereka, peraturan perundangan tidak berlaku.
“Selama tidak anarkis, aksi intimidasi yang dilakukan masyarakat terhadap pelaku kejahatan satwaliar seringkali lebih efektif. Elang selamat, masalah selesai,” tutupnya.
[sumber: mongabay.co.id]