TEMPO.CO, Purwokerto – Sejak 11 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan hari ini sebagai Hari Gunung Internasional. Bertepatan dengan tanggal cantik hari ini, Masyarakat Keragaman Hayati Banyumas atau Biodiversity Society Banyumas (BSB) mengusulkan agar Gunung Slamet dijadikan laboratorium keanekaragaman hayati.
“Bertepatan dengan momen Hari Gunung Internasional, kami meminta pemerintah menjadikan Gunung Slamet sebagai laboratorium keanekaragaman hayati,” kata Koordinator BSB, Timur Sumardiyanto, Rabu, 11 Desember 2013.
Di lingkar Gunung Slamet, kata Timur, terdapat dua satwa yang masuk daftar merah atau terancam punah, yakni Owa Jawa dan Elang Jawa. Populasi satwa ini terus menurun karena perburuan liar dan semakin menurunnya kualitas tempat tinggal dua satwa itu.
Masih menurut Timur, didasari pemantauan setahun terakhir, hulu Sungai Banjaran, Banyumas, atau wilayah lereng selatan Gunung Slamet saat ini menyisakan 3 pasang Elang Jawa. Jumlah itu susut karena pada 2005 masih ada setidaknya 5 pasang Elang Jawa. “Pendataan yang dilakukan Raptor Indonesia tahun 2012, populasi Elang Jawa tinggal 250-400 ekor saja,” katanya.
Ia berharap, dengan ditetapkannya Gunung Slamet sebagai laboratorium keanekaragaman hayati, flora dan fauna di Gunung Slamet bisa terjaga. “Jangan ada lagi perampokan keanekaragaman hayati di Gunung Slamet,” ujarnya.
Koordinator tim survei BKSDA Jawa Tengah Joko Sulistiyanto mengatakan saat ini populasi Owa Jawa tinggal sekitar 400 ekor saja. Di Jawa Tengah, kata dia, hanya tinggal dua lokasi yang memiliki Owa dan Elang Jawa, yakni hutan di Gunung Slamet dan Petungkriyono, Pekalongan. Ia menyebutkan dua spesies itu tergolong hewan yang sangat dilindungi karena perkembangbiakannya yang sangat lambat.
Menurut dia, selama hidupnya, Owa Jawa betina hanya melahirkan paling banyak tiga kali. Hewan ini rata-rata hanya 1-2 kali melahirkan. Selain itu, Owa Jawa termasuk hewan yang setia terhadap pasangan. Jika ada salah satu pasangan yang mati, maka pasangan lainnya akan menyusul mati karena terlalu sedih.
Koordinator Pengembangan Program Suaka Elang, Gunawan, mengungkapkan habitat yang rusak dan pergantian musim mengganggu proses perkembangbiakan Elang Jawa. Saat ini setidaknya, terdapat kurang dari 1.000 Elang Jawa atau sekitar 325 pasang yang masih bertahan. Jumlah tersebut diketahui lewat penelitian dengan metode ekstrapolasi yang dilakukan ilmuwan IPB.
“Padahal, setiap pasangan Elang Jawa membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun untuk 1 butir telur. Sedangkan untuk berkembang menjadi dewasa dibutuhkan waktu minimal 3 tahun, itu pun dengan catatan daerah 75 persen lingkungan habitatnya masih berupa tutupan hutan yang masih bagus,” katanya.
Selain itu, faktor perburuan liar juga menjadi penyebab serius menyusutnya populasi Elang Jawa. Perburuan meningkat karena harga Elang Jawa yang menggiurkan di pasar gelap. “Harga di pasar gelap mencapai Rp 2 juta-3 juta per ekornya,” katanya.
ARIS ANDRIANTO
sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/11/206536574/Gunung-Slamet-Diusulkan-untuk-Laboratorium-Hayati