Karnivora besar yang tersisa di jawa adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas), setelah kerabat terdekatnya yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah oleh IUCN pada awal dekade 80-an yang lalu. Namun, nasib kucing pemanjat ini tak lebih baik dari harimau jawa. Status konservasinya masuk dalam kategori Criticaly endangered. Bahkan, informasi tentang satwa kharismatik ini sangat minim, mengingat kurangnya riset-riset yang dilakukan untuk menunjang upaya konservasinya.
Jawa memang sudah tidak ramah lagi bagi karnivora besar seperti macan tutul. Hutan alam yang ada sudah sangat sempit dan itupun terpecah-pecah sehingga tidak memungkinkan satwa yang tinggal di dalamnya berinteraksi dengan satwa di petak yang lain. Dengan rata-rata homerange 6-10 KM persegi, praktis habitat yang ada tidak dapat mendukung keberlangsungan hidup macan jawa. Daya dukung yang dimaksud antara lain ketersediaan satwa mangsa, tempat berlindung yang aman dan jauh dari gangguan aktifitas manusia, serta ruang gerak yang cukup bagi individu tanpa berkonflik dengan individu macan yang lain.
Sebagaimana diketahui, macan jawa bersifat soliter dan memiliki teritori. Individu macan yang satu dengan yang lain tidak dapat hidup dalam teritori yang sama, terlebih sesama individu jantan dewasa. Masalah tidak kalah seriusnya yang mengancam kelestarian macan tutul jawa adalah perburuan dan konflik dengan manusia. Setidaknya 5 ekor macan tutul terbunuh sepanjang tahun 2013 di berbagai tempat di Jawa. Salah satunya terjerat oleh jerat babi yang dipasang pemburu di kawasan Bukit Pembarisan, Dayeuhluhur Cilacap.
Menurut catatan yang dikumpulkan Biodiversity Society, setidaknya 10 kejadian konflik antara macan tutul jawa terjadi dalam kurun 5 tahun terakhir. Rata-rata, macan tersebut turun ke perkampungan dan membuat masyarakat resah. Karena minimnya pengetahuan tentang perlindungan satwaliar, banyak akhirnya masyarakat yang mengambil langkah-langkah penyelesaian tanpa berkoordinasi dengan pihak yang berwenang, dalam hal ini BKSDA.
Berkaca dari hal tersebut, Biodiversity Society mengambil langkah taktis dengan segera melakukan pendataan habitat macan tutul jawa di Banyumas dan sekitarnya. Pendataan ini bertujuan untuk mengidentifikasi petak hutan mana saja yang masih dihuni oleh macan tutul. Keberadaan macan tutul dapat dilihat dari jejak yang ditinggalkan berupa tapak kaki, scratch, cakaran di pohon maupun kotoran. Agar diperoleh data individu, dipasang kamera trap. Kamera trap merupakan kamera yang akan memotret setiap gerakan maupun suhu panas dari satwa yang melintas di depannya. Kamera ini dipasang di kawasan hutan Notog, Kebasen, dan juga gunung Slamet.
Beberapa petak hutan yang diteliti oleh Biodiversity Society menunjukkan adanya keberadaan macan tutul jawa. Meskipun petak hutan tersebut relatif sempit, namun ketersediaan satwa mangsa sangat beragam. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya berbagai jenis mamalia mulai dari musang, garangan sampai kijang. Selain jenis-jenis tersebut, teramati juga banyaknya monyet ekor panjang yang menghuni kawasan hutan tersebut. Sebagaimana diketahui, monyet merupakan salah satu satwa mangsa utama macan tutul jawa.
Sayangnya, tingkat ancaman terhadap kelestarian macan tutul jawa dan satwa mangsanya di kawasan hutan yang diteliti juga sangat tinggi. Pembukaan lahan hutan untuk pertanian tumpang sari masyarakat masih belum memperhitungkan keberadaan satwaliar. Selain itu, perburuan menggunakan senapan angin sangat tinggi. Hal ini dibuktikan juga dengan tertangkapnya beberapa pemburu oleh kamera trap. Bahkan, anggota Biodiversity Society menemukan sisa-sisa bangkai monyet ekor panjang yang tertembak dan dikuliti oleh pemburu di lokasi penelitian.
Upaya menggali informasi dari kawasan hutan yang tersisa di Banyumas dan sekitarnya akan terus digalakkan oleh Biodiversity Society. Ancaman yang semakin meningkat, harus diimbangi oleh upaya konservasi yang meningkat pula. Penggalian informasi merupakan langkah awal dari upaya penyelamatan predator kharismatik terakhir milik Jawa ini. Tanpa informasi yang cukup, maka upaya-upaya konservasi tentunya tidak akan dapat tepat sasaran dan mampu menyelesaikan masalah yang ada. (Wahyudi)